Tiga Warga Banten Korban Perdagangan Orang

Sebanyak tiga orang warga Banten menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus dijadikan pengantin pesanan.

infobanten.id | Sebanyak tiga orang warga Banten menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus dijadikan pengantin pesanan.

Berdasarkan data hingga Juli 2019, SBMI telah menerima sebanyak 26 aduan kasus korban TPPO dengan modus pengantin pesanan ke negara Tiongkok. Aduan-aduan tersebut datang dari sejumlah provinsi, diantaranya adalah, 14 aduan berasal dari Kalimantan Barat, tujuh dari Jawa Barat, tiga dari Banten, satu aduan dari Jawa Timur, satu aduan dari Jawa Tengah dan satu aduan dari DKI Jakarta.

SBMI juga telah memulangkan sembilan orang dari kasus yang masuk ke Indonesia, dua diantaranya baru dipulangkan pada 13 Juli 2019. SBMI juga berhasil menggagalkan pemberangkatan dua orang ke Tiongkok. Sedangkan, sisanya masih dalam proses penanganan.

Ketua SBMI Banten, Maftuh Hafi Salim, mengatakan, tiga warga Banten yang menjadi yakni satu orang warga Pandeglang dan dua orang lainnya merupakan warga Tangerang. Ia menilai, para korban pengantin pesanan tergiur janji materi jika mau menikah dengan warga Tiongkok melalui biro jodoh.

Dijanjikan akan dipenuhi kebutuhannya,” katanya, Rabu (17/07/2019) .

Ia menjelaskan, salah satu korban AV asal Kampung Sidamukti, Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Pandeglang mengaku jika dirinya menikah dengan warga Tiongkok bernisial YJ di Jakarta. 

Dari pengakuannya setelah menikah, AV dibawa ke Tiongkok. Tapi di sana, korban justru disiksa. Dia ingin pulang tapi dokumen-dokumennya ada di suaminya,” ungkapnya.

Secara umum, lanjut Maftuh, dari kasus-kasus yang diterima, para korban berada dalam situasi rentan. 

Dari kesaksian korban TPPO bermodus pengantin pesanan diketahui mereka memiliki latar belakang  ekonomi yang kurang mampu, korban kekerasan dalam rumah tangga(KDRT) yang dilakukan oleh pasangannya, dan kesulitan dalam mengakses lapangan pekerjaan,” katanya. 

Situasi tersebut, kata Maftuh, menjadi faktor pendorong yang mengakibatkan perempuan korban TPPO bermodus pengantin pesanan mudah ditipu oleh mak comblang atau perekrut dengan berbagai iming-iming. 

Mengubah ekonomi menjadi lebih baik, dengan alasan suaminya nanti adalah anak orang kaya, bekerja sebagai arsitek, dengan gaji Rp2,5 juta, sehingga bisa mengirim uang kepada orang tua yang mengasuh anak dan tambahan uang untuk membangun rumah yang belum selesai,” terangnya.  

Dari hasil penelusuran SBMI, diketahui demi memuluskan bisnis perdagangan perempuan bermodus pengantin pesanan ini perekrut tidak segan memalsukan dokumen korban. Korban tidak menyadari bahwa dengan adanya pemalsuan dokumen pribadi (nama, umur, dan agama), maka korban rentan dihapus sejarah hidup serta sudah menjadi korban TPPO.

Belum lagi adanya kerentanan di shelter apartemen agen. Korban di situ sudah merasakan ketakutan dengan memperoleh informasi dari beberapa korban yang kabur dari rumah suami. Lalu ada perasan berdosa karena sampai di sana tidak dinikahkan, kalaupun dinikahkan dipaksa menikah dengan cara agama berbeda dari agam ayang dianutnya,” tuturnya.

Atas situasi ini SBMI mendesak pemerintah Indonesia bertindak tegas terhadap pelaku TPPO bermodus pengantin pesanan. Pihakya berharap agar situasi ini dapat diperbaiki melalui berbagai pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, provinsi dan daerah serta aparat penegak hukum.

Salah satunya adalah mendukung upaya Kementrian Luar Negeri untuk memulangkan seluruh korban TPPO bermodus pengantin pesanan, yang masih berada di Tiongkok, melalui upaya diplomatik. Dan berdasar berita yang berkembang dimedia, Pemerintah Tiongkok sudah memulangkan lebih dari 1.300 korban perdagangan orang dan memiliki kerjasama dengan 6 negara dalam pemberantasan perdagangan orang.

Kami juga mendukung aparat penegak hukum menindak para pelaku dengan UU No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO),” pungkasnya. (*)