Ini Lah Kesederhanaan dan Pelestarian Alam Suku Baduy

infobanten.id | Suku Baduy di Banten tidak hanya memiliki hutan rimba dan sungai-sungai jernih. Lihatlah kehidupan mereka yang sederhana dan begitu mengaja alam.

Melakukan perjalanan di alam bebas sekarang sudah menjadi hal biasa. Banyak yang sengaja meluangkan waktu demi bisa mengunjungi salah satu destinasi wisata Indonesia. Mengunjungi tempat wisata dengan tujuan kegiatan mendaki gunung, panjat tebing, arum jeram, menyelam, ataupun menelusuri gua kini bisa lebih mudah diakses.

Dengan bantuan aplikasi seperti Pegipegi, kamu bisa dengan mudah memesan tiket kereta, pesawat dan hotel sekalipun. Namun apakah pernah kamu membayangkan suatu tempat atau orang yang menutup semua kemudahan di era zaman sekarang?

Pernah mendengar Suku Baduy? Ya, suku yang terkenal dengan kearifan lokal serta adat istiadatnya menjaga kelestarian alam hingga mampu terjaga dengan baik. Atau bahkan terkenal dengan suku yang menolak akan perkembangan zaman. Saya sering mendengar bahkan beberapa kali membaca artikel tentang perjalanan ke pedalaman suku etnis Sunda yang hidup di Pegunungan Kendeng, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten ini.

Pengetahuan mendasar saya tahu suku baduy dibagi menjadi dua. Yaitu suku Baduy Luar dan Baduy Dalam. Perbedaan yang paling mendasar adalah Suku Baduy dalam merupakan penduduk yang masih menjaga adat istiadat dengan ketat dan Baduy Luar yang sudah berbaur dengan masyarakat sekitar.

Sebenarnya saya tidak pernah merencanakan melakukan perjalanan ke suku Baduy. Saya malah ada keinginan untuk mengunjungi Kampung Naga di Tasikmalaya yang masih menjaga adat istiadatnya juga. Namun ternyata semesta membuat saya melakukan perjalanan ke Suku Baduy terlebih dahulu.

Perjalanan ini di luar ekpektasi saya yang malah membuat saya bersyukur karena mendapatkan pengalaman yang berharga di sana. Dan saran saya jika ingin melakukkan perjalanan ke Baduy siapkanlah fisik dalam keadaan prima dan ajaklah teman-teman. Jangan sampai melakukan perjalanan ini sendirian, meski kamu jomblo.

Tenang, kamu yang tersenyum kecut karena merasa tersindir tidaklah sendirian. Karena saya pun melakukan perjalanan ini bersama teman-teman dan saya merasakan pertemanan yang semakin solid dan kompak selama perjalaan menuju perkampungan Baduy Dalam.

Perjalanan kami dimulai dari Jakarta menuju stasiun Rangkas Bitung dengan memesan tiket kereta melalui aplikasi @pegi_pegi yang lebih praktis dan lebih memudahkan. Lalu dilanjutkan dengan menaiki mobil elf hingga Desa Ciboleger, yang merupakan desa terakhir yang bisa diakses transportasi.

Setelah itu kami berjalan bersama pemandu dan lima orang Baduy Dalam. Mereka adalah Kang Aldi, Kang Kudil, Kang Asep, Kang Herman dan satu lagi si bocah kuat Damin. Untuk tiba di Baduy luar kami berjalan sekitar 200 m. Dan selama perjalan kamu akan disuguhi beraneka macam oleh-oleh yang dijajakan seperti kain tenun, kerajinan tangan dan madu odeng khas Baduy.

Belum berakhir di sini, karena untuk sampai ke Baduy Dalam kami harus melintasi bukit, menyebrangi jembatan bambu dan memasuki kawasan hutan dengan berjalan mendaki dan menurun sekitar 7 jam. Perjalanan yang cukup sulit bagi saya yang jarang olah raga. Sehingga banyak berhenti untuk istirahat. Hehehe.

Saya bersyukur karena bulan September ini masih musim kemarau, karena bila saat musim hujan jalanan yang ditempuh akan sangat licin dan becek. Dan selama perjalanan kami disuguhi pemandangan hijau dan rindangnya pepohonan serta orkes tonggeret sebagai alunan musiknya.

Saat melewati sungai besar dengan jembatan Bambu yang menjulang itu berarti tandanya kami harus menyimpan semua barang elektronik. Jangan sampai menggunakannya ketika berada di Baduy Dalam. Makanya kami tidak punya dokumentasi saat berada di Baduy Dalam demi menghormati tradisi mereka.

Medan yang ditempuh semakin menantang dan langit semakin gelap namun kami belum sampai juga di Kampung Cibeo, salah satu kampung dari tiga kampung yang ada di Baduy Dalam. Dengan cahaya seadanya dari lampu senter, kami berjalan di kawasan hutan dengan jalanan yang turun naik bahkan kadang menukik. Namun anehnya orang Baduy tidak membutuhkan senter. Mereka berjalan tanpa pencahayaan karena katanya mereka sudah hafal jalanan yang dilewati.

Akhirnnya kami sampai di Kampung Cibeo pada pukul 19.30-an dengan napas yang masih turun naik. Di sana kami disambut baik dan diizinkan menginap di rumah warga suku Baduy Dalam. Rumah yang terdiri dari 3 ruangan. Bagian depan adalah beranda. Bagian tengah yaitu ruang yang lumayan luas yang digunakan untuk tidur dan aktivitas mereka. Dan yang paling belakang adalah dapur serta tempat menyimpan hasil ladang. Semua ruangan dilapisi dengan lantai yang terbuat dari anyaman bambu. Sedangkan pada bagian atap rumahnya dari serat ijuk atau daun pohon kelapa.

Setelah seharian perjalanan, kami sangat kelelahan. Bapak Kodo dan Ibu Kodo sebagai tuan rumah, berbaik hati memasakkan bahan makanan yang kami bekal untuk makan malam. Dan setelah semua matang, kami makan bersama.

Semakin larut hingga menuju pagi, udaranya semakin dingin. Saya yang hanya membawa selendang tipis menggigil di pagi buta. Saya sarankan juga jika berkunjung ke sana untuk membawa sleeping bag, kaos kaki dan sarung tangan untuk menangkal dingin. Dan akhirnya saya pun mendekati Ibu Kodo yang tidurnya di ruangan belakang dekat perapian.

Setelah ada cahaya matahari yang masih malu-malu, saya dan teman-teman diantar Damin, anak Bapak Kodo ke tempat pemandian. Sesampainya di sana, saya enggan untuk mandi karena tempatnya yang lumayan terbuka. Padahal ini adalah tempat yang paling aman untuk mandi, mengingat semalam ketika ingin buang air kecil kami diajak ke sungai yang sama sekali tidak ada penghalangnya. Akhirnya saya hanya menyikat gigi tanpa odol dan membasuh muka tanpa facial wash. Karena di Baduy Dalam dilarang menggunakan bahan yang menyebabkan air berbuih. Mereka sangat menjaga alam dan terbukti alam menyediakan air yang begitu jernih dan segar.

Matahari kini mulai bersinar cukup terang, saya bisa melihat kampung suku Baduy Dalam dengan jelas. Saya bersama seorang teman memutuskan untuk berkeliling melihat-lihat sekitar. Saat diperhatikan, rumah suku Baduy dibangun saling berhadap-hadapan dan selalu menghadap Utara atau Selatan. Faktor sinar matahari yang bersinar dan masuk ke dalam ruangan menjadi pilihan rumah di sini. Dan kami juga menemukan tempat yang diberi tanda silang bambu. Yang katanya itu adalah daerah terlarang untuk para wisatawan.

Orang suku Baduy ternyata diluar ekspektasi saya. Mereka bisa berbicara bahasa indonesia. Meski ketika diajak mengobrol jawaban mereka terkesan irit. Untungnya saya bisa berbahasa sunda karena saya asli suku Sunda. Berinteraksi dengan mereka membuat saya kagum akan kesederhanaan mereka.

Sinar matahari semakin menghangat dan saya penasaran melihat seorang bapak paruh baya yang sedang membuat tas kerajinan tangan. Saya mendekatinya dan setelah melihat dan banyak bertanya saya diperbolehkan untuk mencoba membuat tas dari kulit terep dan juga cincin dari pohon handam.

Setelah matahari meninggi, saya baru mengetahui kalau ingin menginap lebih dari satu malam, maka harus berpindah rumah. Karena di suku Baduy Dalam tidak diperbolehkan bila wisatawan menginap lebih dari satu hari di satu rumah penduduk. Jadilah sekitar jam 11 siang kita berpindah tempat ke rumah yang ada di kaki bukit.

Dengan medan perjalan yang naik turun sama seperti kemarin, namun dengan jarak tempuh yang lebih sedikit akhirnya kami tiba di satu rumah penduduk. Berbeda dengan rumah yang sebelumnya, di sini hanya ada dua rumah dan lebih banyak lumbung padi. Namun di sini kita lebih bebas karena bisa menyalakan api unggun karena berada di bawah kaki bukit dan bukan perkampungan.

Sorenya kami diajak ke sungai terluar suku Baduy Dalam. Di sini kami diperbolehkan untuk menggunakan alat elektronik kembali. Akhirnya kami bisa mengabadikan keindahan alam ciptaan Tuhan sebagai kenang-kenangan. Di sungai ini pula diperbolehkan menggunakan sabun. Namun sayangnya teman saya banyak lelakinya dan saya memutuskan untuk tidak mandi lagi.

Untuk tiba di sungai dan kembali lagi pulang ke rumah ternyata ada beberapa jalan berbeda yang bisa ditempuh. Karena kami terbagi menjadi beberapa kelompok yang menempuh jalan berbeda. Saya dan dua orang teman bersama Kang Kudil mengambil jalan yang melewati bukit kering yang sebagian tanahnya terbakar. Tepatnya sengaja dibakar untuk kemudian ditanami padi. Saya tidak sempat bertanya lebih lanjut kepada Kang Kudil karena saya lebih fokus pada tanah bukit kering menanjak yang membuat bulir-bulir keringat saya bercucuran karena panas dan waswas.

Saat berada di puncak barulah saya menyadari ternyata fokus pada satu tujuan ternyata membuahkan hasil. Sempat tidak terbayangkan bahwa saya bisa mendaki sampai ke puncak. Namun karena bantuan serta dukungan dari teman saya bisa berhasil. Itulah kenapa saya menyarankan untuk melakukan perjalanan ini bersama teman, karena di sinilah kalian akan saling membantu dan saling menjaga satu sama lain. Terlebih kalian akan lebih mengenal karakter masing-masing yang sebelumnya masih tersembunyi.

Besok paginya, sekitar pukul 06.00 WIB kami sudah berkemas untuk kembali ke Jakarta. Setelah pamitan kepada Bapak Sardi dan Ibu Sari serta menantunya, Teh Erni yang merupakan putri Bapak Kodo, kami memulai perjalanan untuk pulang.

Udara sejuk dan pepohonan yang segar sebentar lagi akan berubah menjadi hiruk pikuk kota Jakarta. Lamat-lamat ada perasaan nyaman dan ingin mengunjungi kembali meski perjalanannya tidaklah mudah bagi saya. Kami pun diberi tahu oleh pemandu, jika ingin berkunjung lagi datanglah saat musim durian sekitar bulan Februari. Karena kita bisa makan durian sepuasnya dengan kualitas kelezatan yang tiada duanya. (*)