Dikritik Program Pendidikan Gratis, Ini Respons Gubernur

infobanten.id | Tensi Gubernur Wahidin Halim (WH) sepertinya sedang naik. Tiba-tiba saja orang nomor satu di Provinsi Banten ini naik pitam saat menanyakan soal teknis penyelenggaraan pendidikan gratis pascakeluarnya Pergub Nomor 31 Tahun 2018.

Usai rapat paripurna istimewa mendengarkan pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia dalam rangka HUT ke-73 RI di gedung DPRD Banten, KP3B, Curug, Kota Serang, Kamis (16/08/2018), WH malah mencak-mencak. Mantan walikota Tangerang ini mengaku, keluarnya pergub pendidikan gratis tidak membuka ruang pungutan bagi orangtua siswa. “Apa tanya lagi kamu? Apa kamu tanya. Apa maksudnya?” tegasnya.

Sambil ‘berapi-api’, WH masih menjelaskan dengan nada tinggi bahwa Pergub Nomor 31 Tahun 2018 sudah lama dibuat. Sebelumnya sudah melalui rangkaian sosialisasi pada 2017 kepada seluruh kepala sekolah dan masyarakat.

“Sudah disetujuin Dewan (program pendidikan gratis-red). RPJMD juga sudah ada. Yah,” katanya didampingi Wagub Andika Hazrumy dan Sekwan DPRD Banten EA Deni Hermawan.

Menurut pengakuannya, usulan program pendidikan gratis diajukan sejak 2017 itu di dalamnya terkait dengan komponen-komponen pembiayaan maupun syarat menggratiskan sudah dipenuhi. Namun, secara langsung WH mengaku perlu disempurnakan.

“Yang berikan komponen-komponen pembiayaan maupun syarat pendidikan gratis sudah kita penuhi. Memang kita perlu sempurnakan,” terangnya.

Ia juga menyinggung Ketua Komisi V Fitron Nur Ikhsan yang dianggap liar. Menurutnya, seharusnya Fitron mempersoalkan hal tersebut dalam pembahasan. WH beralasan kenapa program tersebut tidak ditolak sebelumnya.

“Kenapa lalu ditolak? Anggota Dewan menolak ngaku ketua komisi. Kalau ngomong di dalam di DPRD kenapa tidak ditolak dulu. Itu kan di luar parlemen. Liar kalau itu,” katanya.

Terkait dengan Pasal 32 di dalam Pergub 31/2018, politikus Partai Demokrat itu mengatakan, harus dibedakan antara pungutan dan partisipasi atau sumbangan.

“Memang boleh partisipasi, tapi tidak pungli. Pungutan liar dan sumbangan itu beda,” katanya. “Saya kudu ngomong (keras-red) biar kedengaran ke belakang tuh,” kilahnya.

Menurutnya, pungutan liar dan sumbangan itu menjadi berbeda. Boleh sekolah minta sumbangan kepada warga, tapi tidak bersifat mengikat. Yang kaya, yang mampu silakan sumbang ada pasalnya. Ada juga alokasi pembiayaannya. Namun, pungutan-pungutan resmi yang disepakati itu harus bersifat jangan dipungut.

“Kalau orang miskin 20-60 persen orang miskin tidak sanggup, kalau dikasih sanksi. Apa jadinya republik ini? Paham enggak kalian?” ungkapnya.

Disinggung substansi partisipasi dan sumbangan dengan Pergub 30/2017 tentang Komite Sekolah yang selama ini menjadi rujukan komite sekolah, WH mengaku bahwa pergub sebelumnya tidak menggambarkan itu.

“Pergub sebelumnya hanya menggambarkan perubahan kewenangan. Dari kota kabupaten ke provinsi. Kota kabupaten sudah lama melaksanakan pendidikan gratis. Saya sepuluh tahun. Kota Serang juga sudah. Kenapa dipersoalkan?” katanya.

Menurutnya, sumbangan di mana-mana boleh. Buktinya pada saat dirinya melakukan sosialisasi di sekolah mendapat laporan ada warga yang sudah menyumbang. Ia mengaku mempersilakan, tetapi tidak boleh bersifat mengikat.

“Itu (sumbangan-red) oleh komite bukan kepala sekolah. Kepala sekolah digaji oleh pemerintah negara. Kepala sekolah harus hadir mewakili negara bahwa pendidkan harus menjamin setiap orang,” katanya.

WH membantah bahwa tafsir pasal 32 sebagai pasal yang melegalkan pungutan dan bentuk tidak komitmennya terhadap pernyataan sebelumnya. Menurutnya, yang hanya menerima sumbangan bukan kepala sekolah melainkan komite sekolah.

“Siapa yang menafsirkan lain. Siapa yang menafsirkan lain. Boleh komite menerima sumbangan, tapi dari yang mau nyumbang. Dicatat sebagai aset,” terangnya.

Ia juga membantah anggapan bahwa pasal tersebut akan mengubah substansi dari program pendidikan gratis yang menjadi salah satu program priotas.

“Ya enggak, beda. Seluruh pendidikan ditanggung oleh (program-red) pendidikan gratis. Tapi kalau ada orang lain yang menyumbang, beda. Pungutan sama sumbangan lain. Itu namanya kebijakan yang membuka ruang mereka yang mampu memberikan bantuan,” katanya.

Sementara itu, Ketua Komisi V DPRD Banten Fitron Nur Ikhsan mengatakan, Gubernur Banten WH memandang satu gagasan seperti memandang mata koin dari sisi beliau saja. Sama sekali tidak mau melihat dari sisi satunya lagi. Lantaran itu, berkecamuk dalam pikirannya seolah niat baiknya ditentang. Parahnya, penentang niat baiknya diartikan penjahat.

“Jadi, yang terlihat benar, ya pada sisi beliau. Membangun diskusinya kan juga enggak setara. Menutup diri dari argumentasi lainnya. Arogan tidak menyelesaikan masalah, membenturkan diri juga bukan tindakan yang bijaksana,” katanya.

Ia menilai, langkah diskusi bisa dilakukan untuk memetakan antara keinginan dan realitas kemampuan anggaran. Dengan langkah itu, diyakini bisa menemukan formula kebijakan yang lebih bisa diandalkan untuk memajukan pendidikan kita.

“Jadi biar saja, saya asyik-asyik saja disamakan dengan penjajah karena kebaikan kan juga harus berdasarkan perhitungan yang matang,” katanya.

“Kasihan ikan tenggelam karena air bah, mengangkatnya ke daratan bukan malah menolong, tapi mencelakakan ikan-ikan meski sebenarnya niatnya baik,” pungkasnya. (*)