infobanten.id | Fleksibilitas jam kerja (flexible work arrangement) mulai populer pada awal tahun 1970-an (Sulliven & Lussier, 1995). Awal kemunculannya, metode ini digunakan untuk mengurangi kepadatan di jalanan akibat keluarnya sejumlah orang secara bersamaan untuk menuju tempat kerja mereka.
Ada berbagai bentuk fleksibilitas jam kerja misalnya flex-time, telecommuting, job share, dan sebagainya. Flex-time dapat berupa bekerja pada jam/ hari kerja yang lebih sedikit, bekerja dalam jumlah jam yang sama tetapi dengan fleksibilitas yang lebih besar.
Flex-time membawa perubahan di lingkungan kerja profesional, dimana profesional tidak perlu lama bekerja dalam jam yang sama dan atau sebanyak jam yang ditetapkan kantor (Hooks & Higgs, 2000).
Flex-time memungkinkan karyawan untuk melakukan variasi jam kerja pada jam kerja standar yang ada (Staffordshire University, 2005), menawarkan suatu bentuk kerja yang fleksibel (flexible work arrangement) sehingga memungkinkan two-income couples dalam mengelola kerja dan keluarga dengan baik (Walls et al., 2001).
Wacana FWA di Indonesia sebenarnya sudah mulai banyak didengungkan sejak awal tahun 2000. Hal ini terbukti dari mulai banyaknya penelitian yang mengkaji penerapan metode ini terutama di kota-kota besar sebagai solusi untuk mengurangi kemacetan.
Terdata telah ada beberapa perusahaan besar yang sudah menerapkan metode ini, walaupun masih parsial, misalnya Telkom dan Pertamina. Argumen dasarnya adalah agar para pegawai dapat mencapai work life balance (WLB). Tujuannya, mendapatkan tingkat kebahagiaan yang tinggi dan selaras dengan prestasinya di kantor tempat mereka bekerja.
Argumen WLB ini juga yang mendasari beberapa instansi untuk mulai mengkaji penerapan FWA bagi pegawai mereka. Salah satunya adalah Pemprov DKI Jakarta yang telah lama sudah melakukan kajian serius terhadap implementasi metode ini. Pada awal tahun 2020 Bappenas juga mendeklarasikan diri sebagai instansi pilot project penerapan FWA di Indonesia.
Di tengah pembahasan skema dan metode FWA yang masih belum fiks, para aparatur sipil negara (ASN) dan mayoritas pegawai BUMN dan BUMD tiba-tiba secara tidak terencana harus menjalani masa work from home akibat adanya pandemi covid 19.
Dengan sistem yang pada awalnya belum siap, para ASN terutama diharuskan bekerja dari rumah agar fungsi-fungsi pelayanan tetap dpat terlaksanakan dengan baik. Lambat laun, sistem pun mulai menyesuaikan diri dengan paksaan”WFH bagi para ASN. Mulai sistem absen, sistem laporan hingga media bertemu secara daring pun saat ini sudah bisa dibilang terbangun baik akibat paksaan pandemi covid 19.
Di sisi lain, muncullah perdebatan, apakah skema yang dimaksud dalam FWA ini serupa dengan WFH yang terpaksa” telah dilakukan pada masa pandemi ini? dan apakah sistem yang sekarang terbangun untuk WFH ini kedepan akan bisa menjadi investasi bagi persiapan implementasi metode FWA di Indonesia?
Sejak pertengahan Maret, Pemerintah mengumumkan kebijakan WFH bagi para ASN dan pegawai BUMN serta BUMD. Hal ini bertujuan untuk memotong mata rantai penyebaran virus corona baru (Covid-19) dengan membatasi pergerakan manusia. Tentunya saat itu tidak semua perusahaan langsung mematuhi, tetapi minimal sekitar 4 juta orang tidak akan menjadi penghubung rantai covid 19.
Bagi kebanyakan instansi terutama daerah, WFH ini merupakan kondisi darurat di tengah sistem yang belum terbangun sama sekali. Sistem-sistem pemantauan WFH kemudian disusun untuk mengakomodasi kebutuhan, ada yang sistemnya berhasil dengan baik dan ada yang memerlukan proses yang agak lama untuk beradaptasi.
Salah satu contoh adalan Lembaga Administrasi Negara, LAN ditengah situasi WFH segera menyusun sistem pelaporan WFH yang dapat juga mengontrol posisi lokasi pegawai. Sistem ini diharapkan menjadi instrumen kejujuran para pegawai. Setelah sistem pelaporan terbentuk, disusunlah sistem yang dapat mengakomodasi terlaksananya rapat-rapat kantor.
Langkah ini untuk mengakomodir frekuensi kebutuhan rapat yang tinggi dan tetap harus dilaksanakan ditengah situasi darurat WFH. Sistem rapat yang dibangun ini juga sebagai respons adanya berbagai kabar yang mengatakan bahwa salah satu sistem online yang banyak digunakan untuk pertemuan online rawan diretas dan disalah gunakan.
Bangunan sistem LAN ini agaknya berhasil menjadi supporting based system bagi pelaksanaan WFH seluruh pegawai LAN. Sehingga lebih dari separuh pekerjaan yang menjadi tugas pokok pegawai LAN dapat dilaksanakan. Walaupun tetap saja ada beberapa pekerjaan teknis yang tidak dapat diselesaikan secara WFH, misalnya kinerja keuangan.
Kondisi di LAN tadi hanya contoh kecil betapa kebijakan WFH pada masa pandemik Covid 19 ini telah berhasil memaksa” instansi untuk membuat sistem yang capable bagi pelaksanaan WFH.
Para pembuat kebijakan di setiap Instansi kemudian akan punya data jenis pekerjaan apa saja yang memungkinkan untuk dilaksanakan di mana saja dan yang tetap harus dilaksanakan di kantor. Sehingga kabar baiknya, FWA di Indonesia sangat memungkinkan untuk dilaksanakan di luar masa darurat.
Pelaksanaan FWA dengan metode yang tepat akan mampu menghemat pengeluaran negara untuk beberapa hal, misalnya perjalanan dinas. Pegawai di daerah tak perlu repot-repot terbang ke Jakarta hanya untuk rapat. Koordinasi sudah dapat dilakukan melalui teknologi digital. Penggunaan waktu pun dapat dialihkan pada hal-hal yang lebih penting karena tidak perlu lagi membuang waktu di jalan. (*)