
.
infobanten.id | Banten, di ujung barat Pulau Jawa, menyimpan lapisan sejarah dan budaya yang kaya, mewarnai siapa “urang Banten” sejati.
Sejak abad ke-16, Kesultanan Banten menjadi pusat penyebaran Islam dan pelabuhan rempah yang menjalin hubungan dengan pedagang Arab, Persia, Gujarat, Tionghoa, bahkan Eropa.
Interaksi lintas budaya itu melahirkan dua kelompok utama: urang pesisir yang terbuka pada jaringan maritim dan perdagangan, serta urang gunung—termasuk komunitas Baduy—yang menjaga tradisi agraris dan harmoni lingkungan.
Islam, selain sebagai landasan spiritual, juga menjadi pilar politik dan sosial.
Masjid Kasunyatan dan pesantren-pesantren awal muncul sebagai pusat pendidikan agama dan simbol legitimasi kesultanan.
Sementara itu, praktik tarekat dan tradisi mistik mempertemukan kyai—penjaga ilmu agama—dengan jawara—figur kuat lokal yang dibekali keahlian fisik dan magis.
Hubungan simbiotik antara kyai dan jawara menciptakan jaringan ketahanan sosial yang tangguh, baik ketika menghadapi tekanan kolonial Belanda maupun dinamika kontemporer.
Dalam era otonomi daerah pasca-2000, Banten dihadapkan pada transformasi sosial-ekonomi: kawasan industri utara yang berkembang pesat berdampingan dengan desa-desa pegunungan yang masih kental adat istiadatnya.
Perubahan ini meneguhkan kembali pentingnya akar kultural sebagai fondasi pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.
Prof. Yanwar Pribadi, Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten dan Universitas Islam Internasional Indonesia, yang sekaligus menjadi editor buku “Urang Banten: Sejarah, Islam dan Identitas”, menekankan: “Identitas urang Banten bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan kekuatan kolektif yang menuntun kita memahami peran lokal dalam arus globalisasi.”
Lebih lanjut, Yanwar memaparkan bagaimana perkembangan institusi keagamaan—dari konversi besar-besaran oleh Maulana Hasanuddin hingga kebangkitan gerakan agama-politik abad ke-19—menjadi fondasi identitas kolektif.
Menurutnya: “Kesadaran pesisir dan gunung bukanlah dinding pemisah, melainkan dua sayap yang mengangkat budaya Banten menuju masa depan.”
Pemahaman dua kutub tersebut sangat penting, karena ia menjelaskan perbedaan pola hidup dan praktik budaya yang saling melengkapi.
Urang pesisir, dengan tradisi dagang dan keterbukaan, meneguhkan Banten sebagai simpul maritim.
Di lain pihak, urang gunung, khususnya Baduy, mempertahankan kearifan lokal dan ekosistem agraris yang memberi kekuatan moral dan ekologis pada masyarakat.
Keberagaman ini juga tercermin dalam peran perempuan Banten, yang selama ini kerap terabaikan, misalnya tokoh-tokoh seperti Maria Ulfah yang membuktikan bahwa perempuan Banten mampu memimpin dan berinovasi dalam berbagai bidang—dari pemerintahan hingga kegiatan sosial kultural.
Buku “Urang Banten” itu sendiri dibedah dalam sebuah seminar internasional yang diadakan oleh LP2M, Bantenologi, dan Fakultas Ushuluddin dan Adab UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten pada Kamis, 8 Mei 2025 di Aula Lantai 2 FUDA.
Diskusi bersama Prof. H.M.A. Tihami, antropolog dari UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, dan Associate Prof. Stéphane Lacroix, dari Sciences Po, Paris menunjukkan bahwa meneguhkan identitas urang Banten adalah fondasi bagi peran aktif masyarakat dalam pembangunan lokal dan apresiasi global warga Banten di masa kini dan masa yang akan datang. (*)