Refly Harun: Perppu Covid-19 Berpotensi Melanggar Konstitusi Di Negara Hukum

Sejumlah pasal dalam Perppu tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19 dinilai berpotensi melanggar konstitusi dalam prinsip negara hukum.

infobanten.id | Sejumlah pasal dalam Perppu tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19 dinilai berpotensi melanggar konstitusi dalam prinsip negara hukum.

Untuk itu langkah langkah sejumlah tokoh bangsa seperti Amien Rais, Din Syamsuddin, dan Adhie Massardi dkk mengajukan gugatan Perppu 1/2020 ke Mahkamah Konstitusi (MK) dapat dipahami.

Begitu kata pakar hukum tata negara Refly, Jumat (17/4).

“Ada ketentuan-ketentuan yang potensial bertentangan dengan konstitusi, utamanya prinsip negara hukum,” kata Refly Harun.

Refly mengurai, ada beberapa pasal terutama soal klausul “kebal hukum” yang mengarah pada impunitas dalam Perppu tersebut. Antara lain pasal 27 ayat 2 dan 3 yang menegaskan bahwa anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam hal ini Menteri Keuangan dan pegawainya, sekretariat KSSK dan anggotanya, termasuk Bank Indonesia (BI), OJK, dan LPS yang tidak bisa dijerat hukum dalam melaksanakan perppu.

“Nah pasal 27 itu kan bertentangan dengan prinsip negara hukum, masak di situ ada impunity?” ujarnya.

“Orang kalau memang berniat baik dan patuh terhadap perundang-undangan memang tidak boleh digugat secara perdata dan pidana. Tapi itu tidak perlu dinyatakan dalam UU, dengan sendirinya kan gitu,” sambungnya.

Refly Harun juga menyoroti tiga hal dalam perppu tersebut antara lain terkait petugas yang tidak boleh dipidanakan dan digugat secara perdata, segala keputusan tidak boleh di PTUN-kan, dan kerugian yang diakibatkan disebut bukan kerugian negara.

“Loh? Tergantung betul tidaknya, kalau memang betul-betul terbukti korupsi ya tentu ada kerugian negara,” katanya.

“Jangan mentang-mentang dana penanganan Covid-19 misal nih proyek pengadaan APD harusnya 200 jadi 300 ada mark-up? Ya tetap korupsi,” jelasnya.

Kata Gurubesar Kampus IPDN ini, setiap orang yang tidak ada niat jahat dan mematuhi mekanisme perundangan-undangan sudah sangat jelas tidak bisa digugat secara perdata maupun pidana.

Namun, berbeda sebaliknya jika ada niat jahat dan melanggar hukum, maka mesti dipidana dan digugat secara perdata.

Siapapun di mata hukum atas dasar itu memiliki kedudukan yang sama. Sekalipun dia seorang penyelenggara negara.

“Jadi jangan seolah-olah bahwa (perppu) itu ada impunity. Karena kan uang negara penanganan Covid-19 ini kan triliunan, jangan sampai jadi bancakan orang-orang penunggang gelap,” tuturnya.

“Prinsip equlity before the law, kalau dia korupsi ya mau korupsi dalam konteks Covid-19, korupsi karena dalam menjalankan Perppu, ya tetap aja korupsi. Bahkan hukuman mati. Menurut hukum korupsi di Indonesia, korupsi di tengah bencana,” pungkasnya. (*)